Hidup mengalir seperti sajak, sebaris demi sebaris, sebait demi sebait, hingga kau menemukan akhir yang tak terduga. Hidup adalah metafor, penuh misteri, teka-teki yang tersembunyi dalam labirin hatimu sendiri. Kau harus tahu seberapa besar bawah sadarmu, mimpi-mimpimu merasuki setiap langkahmu. Dan akhirnya kaupun harus sadar bahwa hidupmu adalah puisi yang harus kau maknai sendiri.
Wednesday, January 24, 2007
Dunia, yang Kadang Tak Bisa Dimengerti
Tarian Api
Mendung mengendap di kakilangit
Mentari pagi enggan menyapa
Juga laut yang tak lagi ramah
Tanah berpasir ini serupa sampah
Berbuih-buih. Seperti juga api
yang membakar batu-batu
Membakar darahmu
membakar darahku
membakar darah kita
Menjelma sebuah tarian dalam jiwa
Menari bersama laut
menari bersama batu
Hingga sang bulan memanggil anjing-anjing malam
yang menjaga desah napas kita
Masih juga kita berlari
lalu menari lagi sebagai api
bersama laut dan batu
Saat kayu jadi abu
dan sampah jadi laut
kudengar tawamu diantara derai-derai tangis
Malam kian menipis
Suatu Sore di Dekat Pelabuhan
Apakah awan ini yang menipu langit dan matahari
agar bisa berdansa bersama pelangi?
Siapa pula itu panggil gerimis
yang bikin kabut jadi tipis?
Ada anak kecil berkejaran dengan ikan
Tak perduli semua orang matanya dingin.
Waktu juga sudah menipu kami, mungkin.
Karena matahari berenang bersama lampu di pelabuhan.
Time, the Mystery Unfold
Sajak Waktu
Waktu adalah mimpi
yang mengendap terkubur
dalam memori yang sesak.
Waktu telah mengubur kehidupan
dalam dasar yang kelam
menjadi suatu ketiadaan.
Waktu adalah nafsu
untuk mengejar sesuatu
dalam kesadaran palsu.
Waktu telah membuat pikun
kemarin adalah hari esok
dan hari esok, entah kapan.
Waktu telah berhenti
pada halte-halte kesibukan
dalam jiwa-jiwa yang terus bergerak.
Waktu itu relatif
dalam kedinamisan
dan ritme kehidupan.
Waktu telah mengubur waktu
keberadaan itu semu dan rancu
dalam ketiadaan.
Hitam Putih
Layar biru telah tergelar pada lingkar cakrawala.
Di atasnya episode kehidupan akan berjalan,
terbias dari putihnya mentari,
dari bayang-bayang hari yang kian memendek.
Kaki ini akan terus menari
pada garis hitam putih yang terus menyala.
Waktu semakin angkuh dengan detaknya.
Jiwa akan makin rapuh
dalam tatap sinis dunia.
Hidup terus merangkak
dan surga perlahan terbakar.
Adakah harapan pada hari yang melingsir,
dari sinar lembut sang bulan yang nyanyikan
lagu damai di malam yang sunyi?
Jiwa yang berontak melayang
menanti layar biru terkembang
dan cakrawala memulai episode kehidupan
Dari Jendela
Malaikat yang terbang rendah di jendela
telah membawakanku sebungkus takdir
berisi segumpal nasib dan sepotong mimpi
yang membuncah, mencercah, menjadi
cahaya kemilau bernama kenyataan.
Aku tak pernah tahu mengapa
hatiku berdoa dan ragaku berjalan
meniti jembatan kehidupan
di atas jurang kematian.
Dan mengapa tanganku terus saja
merangkai patung mimpi
di atas pasir putih.
Malaikat yang terbang rendah di jendela
berbicara tentang surga
yang telah kubeli dari Tuhan
dengan berlembar-lembar dzikir dan doa.
Semesta telah menghitung hidupku
dan memberiku sepasang sayap.
Sayap yang mengepak-ngepak
menerbangkanku menggapai mimpi
yang bersembunyi di kolong langit.
Subscribe to:
Posts (Atom)