Hidup mengalir seperti sajak, sebaris demi sebaris, sebait demi sebait, hingga kau menemukan akhir yang tak terduga. Hidup adalah metafor, penuh misteri, teka-teki yang tersembunyi dalam labirin hatimu sendiri. Kau harus tahu seberapa besar bawah sadarmu, mimpi-mimpimu merasuki setiap langkahmu. Dan akhirnya kaupun harus sadar bahwa hidupmu adalah puisi yang harus kau maknai sendiri.
Wednesday, July 12, 2006
Bali Coast Apocalypse 2005
Tarian Api
Mendung mengendap di kakilangit
Mentari pagi enggan menyapa
Juga laut yang tak lagi ramah
Tanah berpasir ini serupa sampah
Berbuih-buih. Seperti juga api
yang membakar batu-batu
Membakar darahmu
membakar darahku
membakar darah kita
Menjelma sebuah tarian dalam jiwa
Menari bersama laut
menari bersama batu
Hingga sang bulan memanggil anjing-anjing malam
yang menjaga desah napas kita
Masih juga kita berlari
lalu menari lagi sebagai api
bersama laut dan batu
Saat kayu jadi abu
dan sampah jadi laut
kudengar tawamu diantara derai-derai tangis
Malam kian menipis
Suatu Sore di Dekat Pelabuhan
Apakah awan ini yang menipu langit dan matahari
agar bisa berdansa bersama pelangi?
Siapa pula itu panggil gerimis
yang bikin kabut jadi tipis?
Ada anak kecil berkejaran dengan ikan
Tak perduli semua orang matanya dingin.
Waktu juga sudah menipu kami, mungkin.
Karena matahari berenang bersama lampu di pelabuhan.
Aku, Waktu, dan Laut
Pantai ini adalah puisi tentang waktu
yang langit dan bumi tak juga pernah mengerti.
Masih juga kupahat wajah waktu di pasir dan dinding batu
Walau terus tersapu angin dan ombak yang datang dan pergi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment