Wednesday, July 12, 2006

The 2003-2004 Journey


Sajak Waktu

Waktu adalah mimpi
yang mengendap terkubur
dalam memori yang sesak.

Waktu telah mengubur kehidupan
dalam dasar yang kelam
menjadi suatu ketiadaan.

Waktu adalah nafsu
untuk mengejar sesuatu
dalam kesadaran palsu.

Waktu telah membuat pikun
kemarin adalah hari esok
dan hari esok, entah kapan.

Waktu telah berhenti
pada halte-halte kesibukan
dalam jiwa-jiwa yang terus bergerak.

Waktu itu relatif
dalam kedinamisan
dan ritme kehidupan.

Waktu telah mengubur waktu
keberadaan itu semu dan rancu
dalam ketiadaan.

Hitam Putih

Layar biru telah tergelar pada lingkar cakrawala.
Di atasnya episode kehidupan akan berjalan,
terbias dari putihnya mentari,
dari bayang-bayang hari yang kian memendek.
Kaki ini akan terus menari
pada garis hitam putih yang terus menyala.

Waktu semakin angkuh dengan detaknya.
Jiwa akan makin rapuh
dalam tatap sinis dunia.
Hidup terus merangkak
dan surga perlahan terbakar.

Adakah harapan pada hari yang melingsir,
dari sinar lembut sang bulan yang nyanyikan
lagu damai di malam yang sunyi?
Jiwa yang berontak melayang
menanti layar biru terkembang
dan cakrawala memulai episode kehidupan.

Dari Jendela

Malaikat yang terbang rendah di jendela
telah membawakanku sebungkus takdir
berisi segumpal nasib dan sepotong mimpi
yang membuncah, mencercah, menjadi
cahaya kemilau bernama kenyataan.

Aku tak pernah tahu mengapa
hatiku berdoa dan ragaku berjalan
meniti jembatan kehidupan
di atas jurang kematian.
Dan mengapa tanganku terus saja
merangkai patung mimpi
di atas pasir putih.

Malaikat yang terbang rendah di jendela
berbicara tentang surga
yang telah kubeli dari Tuhan
dengan berlembar-lembar dzikir dan doa.
Semesta telah menghitung hidupku
dan memberiku sepasang sayap.
Sayap yang mengepak-ngepak
menerbangkanku menggapai mimpi
yang bersembunyi di kolong langit.

Suatu Malam, Setelah Kau Pergi

Tawamu, tawaku, dua jam berlalu,
tapi hangatnya masih tersisa dalam segelas anggur.
Gelas yang sudah pecah jadi kepingan waktu.
Senyum yang terkulum di mulutku,
menyembunyikan segumpal tawa dari bibirmu.
Bibir yang sudah jadi beling
dari kristal terbanting

Ah, betapa manisnya waktu yang terkelupas.
Dan betapa bulir-bulir cinta di tanganmu
membasahi keringnya hidup.

Sampai kapan ku harus merangkai
kepingan hatimu?
Sementara jam dinding semakin retak.

Ah, sebegitu bodohkah aku,
memecahkan gelas waktu.

Dialog Tentang Cinta


“Masihkah kau percaya pada cinta?”
tanya seorang gadis di sebuah kereta,
suatu senja yang muram.


Cinta seperti pohon, yang cepat-cepat
berlalu dari jendela kereta.
Bayangnya belum sempat kau tangkap,
ketika yang lain datang menderu-deru.

Senja semakin mengaburkan
pemandangan di luar sana.
Seperti juga cinta lekas menguap
ketika pagi menjadi masa lalu.

“Tapi buklankah cinta sejati itu benar-benar ada?”
tanya gadis itu lagi,
yang matanya memancarkan
bintang dan bulan dari langit malam.


Cinta sejati seperti bintang dan bulan,
keindahan yang tak pernah berlalu,
dari jendela, juga dari matamu.

Kereta masih melaju.
Menyajikan bayang-bayang pohon yang terus berlari.
Sementara cahaya langit masih menemaniku,
Hingga saat nanti, mereka membuaiku.

No comments: