Sunday, May 06, 2007

T H E G L O A M I N G

Moon
So yellow
I walk alone
So low

Blue
The sky
You
So high

River
Stream
Such a dreamer
Such a dream

Sea
The waves sound
Silently
The Sun walks down

Dusk
Sands and dust
You ask
Is this the last?

Stars
Flame
You get so far
I’m to blame

Friday, March 30, 2007

Kota Senja

Suatu kota, suatu malam, langit jingga.
“Senja belum pergi,” katamu.
Tapi aku tidak temukan pantai yang indah
untuk menyobek sepotong senja.
Maka kita nikmati saja langit senja,
dan sinar jingganya yang jatuh banjiri kota
Lalu kau ajak aku menyusuri senja,
tapi tak kulihat bintang yang bisa jadi petunjuk.
Hanya lampu jalanan yang kuning muram,
yang menyinari perjalanan kita.
Matahari senja masih saja bergelayut di langit malam,
seperti juga kau yang menggelayut sendu di bahuku.
Langit masih saja jingga dalam kota.
Lalu kataku, “Kita akan pergi ke sebuah kota,
dengan senja yang sebenarnya.”

We Should Be Together

Why, your face is so sad?
Is it because the sky is so bad?
All you feel is bitter.
But I can make it any better.

But you’re so far away.
Hence, you can’t lean on my shoulder.
Why is it hard to say
that we should be together.

Why the moon is so dark?
Is it because the stars spark?
When the night hide you,
I know what I feel is true.

But you’re so far away.
And I can’t get it over.
Why is it hard to say,
that we should be together.

Why you are so scare?
Is it because you’re alone there?
Let me beside you in your place
to wipe out the sad and bitterness from your face.

It’s Been A Hard Night

Night becomes night.
To and fro the mosquito bite.
Have to many reasons I can’t sleep tight.

Waiting for you never too late.
Condemning what you’ve said.

To and fro the mosquito bite.
One and two these creatures died.
Have no reason to be sad.

Why this feeling makes me mad?
I don’t know how to forget.
I run and run away and hide.
But you’re flying above my bed.

And in my dream we’ve met.
I have you laid.
You scream like a cat.

Night becomes night.
My dream becomes wet.



In the End of the World, I Just Wanna Be With You

The sun goes down.
There is no light.
What can you see in the dark?
I see your eyes spark.
Lead me into the deepest
part of your eyes.

I believe it’s you,
the only one that sees me
in this damn dark night.

The sky is falling.
The earth is sinking.
I just wanna be with you,
sitting next to the sea,
watching everything fade away.

Friday, March 23, 2007

Menunggu dalam Angan

Sayang, kau tahu, menunggu itu pekerjaan yang menyebalkan. Tidak juga hari ini. Kamis yang gerimis. Kau tidak juga datang. Senja sudah lama berlalu, tapi senja yang turun tidak pernah membawa beritamu. Mungkinkah kau titipkan sepucuk surat maaf pada angin atau gerimis?
Aku masih berharap kau turun bersama hujan. Lebih baik kalau kau turun mengendarai petir dengan berani. Seperti saat kau mengetuk jendela di tengah malam, selusin malam yang lalu.
Aku masih ingin bertemu kau. Tak seharusnya kau begini larut. Tubuhku keburu kaku dikerubung gelisah. Malam begitu tak bersahabat. Kubayangkan sepi dan gelap akan mengantarmu ke depan pintu. Aku pikir, biar aku saja yang menghampirimu malam ini. Tapi, tidak! Malam terlalu terkutuk untuk kulalui.
Ah, mungkin besok pagi aku akan temukan sepucuk surat maaf darimu, yang diantarkan matahari. Kau pasti menulisnya karena kau datang begitu terlambat dan tidak mau mengganggu mimpiku. Tapi, kau tahu, sayang, setiap malam mimpiku adalah mimpi yang risau dan melelahkan. Aku selalu saja menemukan sisa-sisa mimpiku teronggok di bawah pintu ketika matahari pagi mengintip dari balik jendela.
Lalu aku akan membuang sisa-sisa mimpi itu bersama bayangan dirimu yang lusuh dan tua. Aku hanya ingin kau benar-benar datang bersama matahari, gerimis, atau angin hangat dari laut. Aku tidak ingin kau hadir hanya dalam angan. Karena kau tahu, sayang, menunggumu adalah hal yang paling menyebalkan!

Monday, February 26, 2007

waktu dan jiwaku semakin kosong......

Aku, Waktu, dan Laut
 

Pantai ini adalah puisi tentang waktu
yang langit dan bumi tak juga pernah mengerti.
Masih juga kupahat wajah waktu di pasir dan dinding batu
Walau terus tersapu angin dan ombak yang datang dan pergi.


Wednesday, January 24, 2007

Dunia, yang Kadang Tak Bisa Dimengerti


Tarian Api

Mendung mengendap di kakilangit
Mentari pagi enggan menyapa
Juga laut yang tak lagi ramah

Tanah berpasir ini serupa sampah
Berbuih-buih. Seperti juga api
yang membakar batu-batu

Membakar darahmu
membakar darahku
membakar darah kita

Menjelma sebuah tarian dalam jiwa

Menari bersama laut
menari bersama batu

Hingga sang bulan memanggil anjing-anjing malam
yang menjaga desah napas kita

Masih juga kita berlari
lalu menari lagi sebagai api
bersama laut dan batu

Saat kayu jadi abu
dan sampah jadi laut
kudengar tawamu diantara derai-derai tangis

Malam kian menipis




Suatu Sore di Dekat Pelabuhan

Apakah awan ini yang menipu langit dan matahari
agar bisa berdansa bersama pelangi?
Siapa pula itu panggil gerimis
yang bikin kabut jadi tipis?

Ada anak kecil berkejaran dengan ikan
Tak perduli semua orang matanya dingin.
Waktu juga sudah menipu kami, mungkin.
Karena matahari berenang bersama lampu di pelabuhan.

Time, the Mystery Unfold


Sajak Waktu

Waktu adalah mimpi
yang mengendap terkubur
dalam memori yang sesak.

Waktu telah mengubur kehidupan
dalam dasar yang kelam
menjadi suatu ketiadaan.

Waktu adalah nafsu
untuk mengejar sesuatu
dalam kesadaran palsu.

Waktu telah membuat pikun
kemarin adalah hari esok
dan hari esok, entah kapan.

Waktu telah berhenti
pada halte-halte kesibukan
dalam jiwa-jiwa yang terus bergerak.

Waktu itu relatif
dalam kedinamisan
dan ritme kehidupan.

Waktu telah mengubur waktu
keberadaan itu semu dan rancu
dalam ketiadaan.



Hitam Putih

Layar biru telah tergelar pada lingkar cakrawala.
Di atasnya episode kehidupan akan berjalan,
terbias dari putihnya mentari,
dari bayang-bayang hari yang kian memendek.
Kaki ini akan terus menari
pada garis hitam putih yang terus menyala.

Waktu semakin angkuh dengan detaknya.
Jiwa akan makin rapuh
dalam tatap sinis dunia.
Hidup terus merangkak
dan surga perlahan terbakar.

Adakah harapan pada hari yang melingsir,
dari sinar lembut sang bulan yang nyanyikan
lagu damai di malam yang sunyi?
Jiwa yang berontak melayang
menanti layar biru terkembang
dan cakrawala memulai episode kehidupan



Dari Jendela

Malaikat yang terbang rendah di jendela
telah membawakanku sebungkus takdir
berisi segumpal nasib dan sepotong mimpi
yang membuncah, mencercah, menjadi
cahaya kemilau bernama kenyataan.

Aku tak pernah tahu mengapa
hatiku berdoa dan ragaku berjalan
meniti jembatan kehidupan
di atas jurang kematian.
Dan mengapa tanganku terus saja
merangkai patung mimpi
di atas pasir putih.

Malaikat yang terbang rendah di jendela
berbicara tentang surga
yang telah kubeli dari Tuhan
dengan berlembar-lembar dzikir dan doa.
Semesta telah menghitung hidupku
dan memberiku sepasang sayap.
Sayap yang mengepak-ngepak
menerbangkanku menggapai mimpi
yang bersembunyi di kolong langit.